Upaya Pemerintah Aceh dalam Mengatasi Perubahan Iklim dan Bencana Alam

Perubahan iklim kini menjadi isu mendesak di tingkat global. Dampaknya terasa hingga ke Aceh yang dikenal sebagai wilayah rawan bencana. Data Kajian Risiko Bencana Aceh 2021–2025 menunjukkan bahwa provinsi ini memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap banjir, tsunami, longsor, dan abrasi pantai.

Selain faktor geografis, meningkatnya curah hujan ekstrem dan naiknya permukaan laut memperburuk risiko tersebut. Pada tahun 2023, misalnya, BPBA mencatat lebih dari 800 kejadian bencana hidrometeorologi di Aceh, angka yang meningkat dibanding tahun sebelumnya.

Dalam konteks ini, Pemerintah Aceh dituntut untuk memperkuat strategi mitigasi dan adaptasi. Upaya yang dilakukan tidak hanya fokus pada penanggulangan saat bencana terjadi, melainkan juga membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Landasan Kebijakan dan Strategi Lingkungan Aceh

Pemerintah Aceh memiliki dasar regulasi yang jelas untuk mengatasi isu lingkungan dan bencana. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Aceh (https://dlhprovinsiaceh.id/) menetapkan visi menuju ekonomi hijau serta misi meningkatkan kapasitas adaptif daerah terhadap perubahan iklim.

Hal ini tercantum dalam Qanun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menjadikan perubahan iklim sebagai prioritas utama. Untuk memperkuat kredibilitas, strategi ini juga terhubung dengan kebijakan nasional melalui dokumen resmi BNPB dan RENAS PB 2025–2029 yang dapat diakses di situs otoritatif pemerintah pusat.

Mitigasi Perubahan Iklim di Aceh

Upaya Pemerintah Aceh dalam Mengatasi Perubahan Iklim dan Bencana Alam
Upaya Pemerintah Aceh dalam Mengatasi Perubahan Iklim dan Bencana Alam

Mitigasi dilakukan untuk mengurangi penyebab perubahan iklim dengan menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Beberapa langkah strategis yang dijalankan pemerintah Aceh antara lain:

  • Perlindungan Hutan sebagai Penyerap Karbon
    Hutan Aceh seluas ±3,3 juta hektare berfungsi sebagai penyangga ekosistem dan penyerap karbon. Bappeda Aceh bersama Pokja JRE/DDPI telah menyusun Rencana Aksi Mitigasi yang menekankan pentingnya menjaga hutan sebagai solusi iklim.
  • Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK)
    Banda Aceh memiliki RAD-GRK 2020–2025 yang menargetkan pengurangan emisi di sektor transportasi, energi, dan limbah. Inisiatif ini menjadi contoh implementasi mitigasi di tingkat lokal.
  • Pengembangan Energi Terbarukan
    Potensi hidro, biomassa, dan tenaga surya mulai dimanfaatkan sebagai sumber energi bersih. Meski belum maksimal, langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah Aceh menuju energi berkelanjutan.

Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

Adaptasi menjadi kunci dalam memperkuat ketahanan masyarakat menghadapi risiko iklim. Beberapa program utama yang dijalankan antara lain:

  • Program Kampung Iklim (ProKlim)
    Program ini mendorong partisipasi masyarakat desa dalam konservasi air, pengelolaan sampah, dan penghijauan. Implementasi ProKlim di Aceh memperlihatkan peran komunitas dalam adaptasi berbasis lokal.
  • Penguatan Ketahanan Pesisir
    Rehabilitasi hutan mangrove dan pembangunan infrastruktur pelindung pesisir dilakukan di daerah rawan abrasi. Upaya ini mengurangi dampak kenaikan muka air laut.
  • Edukasi dan Sosialisasi Publik
    DLH dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) rutin melaksanakan pelatihan, seminar, dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran adaptasi iklim.

Pengurangan Risiko dan Penanggulangan Bencana

BPBA menjadi garda terdepan dalam penanganan bencana. Program yang berjalan meliputi:

  • Rencana Kerja BPBA 2025 yang menitikberatkan pada kesiapsiagaan, pembangunan sistem peringatan dini, dan mitigasi struktural.
  • Rencana Penanggulangan Bencana Kota Lhokseumawe 2025–2029 yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
  • Latihan evakuasi tsunami dan simulasi bencana secara berkala yang melibatkan masyarakat pesisir.

Langkah ini membuktikan bahwa pengurangan risiko bencana tidak hanya mengandalkan infrastruktur, tetapi juga partisipasi aktif warga.

Kolaborasi dan Pendanaan

Menghadapi krisis iklim memerlukan kerja sama berbagai pihak. Pemerintah Aceh memperkuat kolaborasi dengan:

  • Pemerintah Pusat melalui BNPB dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  • LSM dan Organisasi Internasional seperti WALHI dan WWF yang berperan dalam konservasi serta advokasi lingkungan.
  • Pendanaan Inovatif berupa green financing dan CSR perusahaan untuk mendukung program mitigasi serta adaptasi.

Tantangan yang Dihadapi

Walaupun sudah banyak kemajuan, terdapat kendala yang masih harus diatasi:

  • Keterbatasan dana dan sumber daya manusia di tingkat lokal.
  • Koordinasi lintas sektor dan kabupaten/kota yang belum sepenuhnya optimal.
  • Ancaman deforestasi dan perambahan hutan yang berkelanjutan.
  • Minimnya pemanfaatan energi terbarukan dalam skala besar.

Kesimpulan

Pemerintah Aceh telah menunjukkan komitmen kuat melalui kebijakan, mitigasi, adaptasi, dan program pengurangan risiko bencana. Meski demikian, tantangan masih ada, terutama dalam pendanaan, koordinasi, dan pengawasan lingkungan.

Ke depan, partisipasi masyarakat, sektor swasta, serta dukungan komunitas adat sangat penting untuk mewujudkan Aceh yang lebih tangguh menghadapi perubahan iklim dan bencana alam.

Mari dukung kebijakan hijau dan tingkatkan kesiapsiagaan demi masa depan Aceh yang lestari.

Tinggalkan komentar