Ketika dunia pendidikan tinggi menjadi panggung utama lahirnya para pemimpin masa depan, gerakan mahasiswa terus memainkan peran penting sebagai suara perubahan sosial. Di tengah dinamika yang kompleks, perempuan tidak lagi hanya menjadi penonton. Mereka kini menjadi bagian tak terpisahkan dari gelombang aktivisme mahasiswa yang mendorong reformasi, keadilan, dan kesetaraan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa partisipasi perempuan di pendidikan tinggi meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir. Pada tahun ajaran 2021/2022, persentase mahasiswa perempuan mencapai sekitar 53,5% dari total mahasiswa secara nasional (BPS, 2022). Ini menunjukkan bahwa potensi keterlibatan perempuan dalam gerakan mahasiswa juga semakin besar. Namun, eksistensi mereka di ruang-ruang strategis belum sepenuhnya proporsional. Artikel ini mengulas bagaimana perempuan menjadi kekuatan yang menggema dalam gerakan mahasiswa, tantangan yang dihadapi, dan dampaknya terhadap lanskap sosial-politik kampus.
Perempuan dan Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia
Sejarah panjang gerakan mahasiswa Indonesia sarat dengan momen-momen penting, seperti Gerakan 66, Reformasi 1998, hingga berbagai aksi solidaritas kemanusiaan dalam dua dekade terakhir. Sayangnya, narasi sejarah yang berkembang cenderung bias gender. Nama-nama seperti Marsinah, Siti Sundari, dan Suwarsih Djojopuspito jarang ditulis sejajar dengan tokoh laki-laki seperti Soe Hok Gie atau Hariman Siregar.
Pada era Reformasi, banyak perempuan turut turun ke jalan, tetapi peran mereka sering dianggap sekunder. Kini, dengan peningkatan akses informasi dan pendidikan, perempuan tampil lebih percaya diri sebagai penggerak utama. Sejumlah tokoh mahasiswi tampil dalam forum nasional, seperti aksi penolakan RUU KUHP, advokasi kekerasan seksual di kampus, dan gerakan hijau yang digawangi oleh komunitas perempuan muda.
Ruang Partisipasi yang Kian Luas
Saat ini, Anda dapat menjumpai organisasi mahasiswa yang lebih sadar akan pentingnya partisipasi perempuan. Di kampus-kampus besar seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga, unit kegiatan mahasiswa membuka ruang inklusif untuk mahasiswi mengambil peran strategis, mulai dari ketua BEM hingga ketua senat mahasiswa.
Perempuan juga memelopori komunitas diskusi, literasi gender, dan advokasi kebijakan kampus yang ramah perempuan. Di sejumlah kampus, forum seperti Perempuan Berkabar, Gerakan Mahasiswi Progresif, dan Kolektif Kampus Inklusif berkembang pesat. Beberapa di antaranya merekrut anggota baru melalui kanal digital seperti pendaftaran.gema.ac.id, yang menjembatani keikutsertaan tanpa diskriminasi.
Tantangan Struktural yang Masih Mengakar
Meskipun ruang terbuka lebar, mahasiswi tetap menghadapi tantangan serius. Survei oleh Komnas Perempuan pada 2021 menunjukkan bahwa 27% kekerasan berbasis gender di lingkungan pendidikan tinggi dilakukan oleh pihak internal kampus, termasuk dalam organisasi kemahasiswaan. Ini menjadi tantangan besar dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan.
Selain itu, bias gender dalam proses pengambilan keputusan organisasi masih kuat. Mahasiswi yang menyuarakan kritik dianggap terlalu sensitif atau emosional. Sementara perempuan yang tampil vokal dalam forum publik kadang dilabeli tidak sesuai dengan norma femininitas.
Untuk mengatasi ini, banyak komunitas mahasiswa mulai menerapkan SOP pencegahan kekerasan berbasis gender serta menyediakan pelatihan anti diskriminasi dan kepemimpinan perempuan.
Suara Digital: Ketika Mahasiswi Mengguncang Media Sosial
Digitalisasi menjadi sarana penting dalam membesarkan suara perempuan. Kampanye daring seperti #MahasiswiMelawan dan #TolakKekerasanKampus berhasil menyedot perhatian publik dan media arus utama. Melalui platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, para mahasiswi menyuarakan pengalaman, edukasi, dan ajakan aksi secara terbuka.
Studi dari Center for Digital Society UGM (2023) menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam gerakan digital kampus cenderung lebih aktif dibanding laki-laki dalam hal produksi konten advokasi. Hal ini membuka ruang yang lebih setara dalam pengaruh opini publik dan tekanan terhadap lembaga pendidikan.
Mendorong Kepemimpinan Perempuan yang Transformatif
Gerakan mahasiswa bukan hanya soal aksi, tetapi juga pembentukan karakter pemimpin masa depan. Mahasiswi yang aktif di organisasi kampus kini banyak yang melanjutkan kiprah di ruang sipil dan politik. Sebut saja Nurul Amalia, mantan aktivis kampus yang kini menjadi bagian dari jaringan Women’s Earth Alliance Indonesia. Ada pula Dhea Septiani yang menulis tesis tentang resistensi perempuan kampus dan mendapat penghargaan riset terbaik di UI tahun 2022.
Ini menunjukkan bahwa pengalaman organisasi mahasiswa menjadi landasan kuat bagi pembentukan pemimpin perempuan yang kritis, solutif, dan sadar akan keberagaman isu sosial.
Suara yang Tidak Lagi Bisa Diabaikan
Perempuan kini menjadi suara yang menggema dalam gerakan mahasiswa—bukan hanya dalam jumlah, tetapi dalam gagasan, keberanian, dan dampak yang diciptakan. Anda yang mengikuti perkembangan ini akan melihat bahwa arah gerakan mahasiswa semakin kompleks dan inklusif berkat kontribusi aktif dari mahasiswi.
Ketika suara perempuan diberi ruang, maka narasi gerakan akan lebih menyeluruh dan solutif. Ini bukan soal keseimbangan angka, tetapi soal keadilan representasi dan transformasi sosial yang lebih bermakna (Sumber: https://pendaftaran.gema.ac.id/).